Perang Diponegoro: Perlawanan Kesultanan Yogyakarta terhadap Belanda
Pendahuluan
Perang Diponegoro (1825–1830) adalah salah satu perlawanan terbesar terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang bangsawan Kesultanan Yogyakarta yang menolak campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Perang yang berlangsung selama lima tahun ini menyebabkan korban jiwa yang sangat besar, baik di pihak Belanda maupun rakyat pribumi.
Latar Belakang Perang
Beberapa faktor utama yang menyebabkan meletusnya Perang Diponegoro adalah:
Campur Tangan Belanda dalam Urusan Kesultanan
Setelah Perjanjian Giyanti (1755) membagi Kesultanan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, Belanda semakin memperkuat pengaruhnya di dalam pemerintahan Kesultanan Yogyakarta. Para bangsawan mulai kehilangan kekuasaan mereka akibat intervensi Belanda.
Pajak yang Berat dan Ketidakadilan Sosial
Belanda menerapkan sistem pajak yang sangat membebani rakyat, seperti pajak tanah dan kerja paksa. Hal ini menimbulkan penderitaan di kalangan petani dan rakyat kecil.
Pelanggaran Nilai Budaya dan Keagamaan
Salah satu pemicu utama perang adalah rencana Belanda untuk membangun jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Hal ini dianggap sebagai penghinaan terhadap budaya dan tradisi Jawa, yang kemudian memicu kemarahan Diponegoro dan para pengikutnya.
Jalannya Perang
Pada tahun 1825, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perang ini berlangsung dalam beberapa tahap:
Strategi Gerilya
Diponegoro menerapkan taktik perang gerilya, menyerang pos-pos Belanda di pedesaan dan menghindari pertempuran terbuka. Dengan dukungan rakyat dan jaringan pesantren, pasukan Diponegoro mampu memberikan perlawanan sengit terhadap Belanda.
Dukungan Rakyat dan Ulama
Banyak ulama dan santri bergabung dalam perjuangan Diponegoro, menjadikan perang ini sebagai perang suci (jihad) melawan penjajahan.
Taktik Benteng Stelsel oleh Belanda
Menghadapi perlawanan sengit, Jenderal De Kock menerapkan strategi Benteng Stelsel, yaitu membangun benteng-benteng kecil untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Strategi ini berhasil melemahkan perlawanan rakyat.
Akhir Perang dan Penangkapan Diponegoro
Pada tahun 1830, setelah lima tahun perang yang melelahkan, Belanda menawarkan perundingan damai kepada Pangeran Diponegoro. Namun, perundingan tersebut ternyata jebakan. Diponegoro ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830 dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makassar hingga wafat pada tahun 1855.
Dampak Perang Diponegoro
Perang Diponegoro meninggalkan dampak besar bagi Indonesia, di antaranya:
Kerugian Besar bagi Belanda
Belanda kehilangan lebih dari 15.000 tentaranya, sementara rakyat pribumi mengalami korban lebih besar, mencapai 200.000 jiwa.
Melemahnya Kesultanan Yogyakarta
Setelah perang, Belanda semakin memperkuat kendali atas Kesultanan Yogyakarta dan mengurangi kekuasaan bangsawan Jawa.
Inspirasi Perjuangan Kemerdekaan
Perlawanan Diponegoro menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa mendatang. Namanya dikenang sebagai pahlawan nasional yang berjuang untuk tanah air.
Kesimpulan
Perang Diponegoro adalah perlawanan besar yang menunjukkan semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan Belanda. Meskipun berakhir dengan kekalahan, perang ini menjadi simbol keberanian dan keteguhan hati dalam melawan ketidakadilan dan penjajahan.
